A. Kondisi Koperasi di Negara dengan Sistem
Kapitalis dan Semi Kapitalis
Kegiatan berkoperasi dan
organisasi koperasi pada mulanya diperkenalkan di Inggris di sekitar abad
pertengahan. Pada waktu itu misi utama berkoperasi adalah untuk menolong kaum
buruh dan petani yang menghadapi problem-problem ekonomi dengan menggalang
kekuatan mereka sendiri. Kemudian di Perancis yang didorong oleh gerakan kaum
buruh yang tertindas oleh kekuatan kapitalis sepanjang abad ke 19 dengan tujuan
utamanya membangun suatu ekonomi alternatif dari asosiasi-asosiasi koperasi
menggantikan perusahaan-perusahaan milik kapitalis. Ide koperasi ini kemudian
menjalar ke AS dan negara-negara lainnya di dunia. Di Indonesia, baru koperasi
diperkenalkan pada awal abad 20.
Sejak munculnya ide
tersebut hingga saat ini, banyak koperasi di negara-negara maju seperti di Uni
Eropa (UE) dan AS sudah menjadi perusahaan-perusahaan besar termasuk di sektor
pertanian, industri manufaktur, dan perbankan yang mampu bersaing dengan
korporat-korporat kapitalis.Sejarah kelahiran dan berkembangnya koperasi di
negara maju dan negara sedang berkembang memang sangat diametral. Di negara
maju koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar, oleh
karena itu tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar. Bahkan dengan
kekuatannya itu koperasi meraih posisi tawar dan kedudukan penting dalam
konstelasi kebijakan ekonomi termasuk dalam perundingan internasional.
Peraturan perundangan yang mengatur koperasi tumbuh kemudian sebagai tuntutan
masyarakat koperasi dalam rangka melindungi dirinya. Sedangkan, di negara
sedang berkembang koperasi dihadirkan dalam kerangka membangun institusi yang
dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu kesadaran antara kesamaan dan
kemuliaan tujuan negara dan gerakan koperasi dalam memperjuangkan peningkatan
kesejahteraan masyarakat ditonjolkan di negara sedang berkembang, baik oleh
pemerintah kolonial maupun pemerintahan bangsa sendiri setelah kemerdekaan.
Menurut data dari ICA, di dunia saat ini sekitar 800 juta orang adalah anggota
koperasi dan diestimasi bahwa koperasi-koperasi secara total mengerjakan lebih
dari 100 juta orang, 20% lebih dari jumlah yang diciptakan oleh perusahaan-perusahaan
multinasional. Pada tahun 1994, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan
bahwa kehidupan dari hampir 3 miliar orang, atau setengah dari jumlah populasi
di dunia terjamin oleh perusahaan-perusahaan koperasi.
Tidak hanya di negara
sedang berkembang yang pendapatan per kapitanya rendah, tetapi juga di negara
maju yang pada uumnya adalah ekonomi kapitalis seperti di Amerika Utara dan
Jepang atau yang semi kapitalis seperti di negara-negara Eropa Barat, khususnya
Skandinavia peran koperasi sangat penting. di tujuh negara Eropa menunjukkan
bahwa pangsa dari koperasi-koperasi dalam menciptaan kesempatan kerja mencapai
sekitar 1 persen di Perancis dan Portugal hingga 3,5 persen di Swiss.
Perkembangan koperasi yang sangat pesat di negara maju tersebut membuktikan
bahwa tidak ada suatu korelasi negatif antara masyarakat dan ekonomi modern dan
perkembangan koperasi. Dalam kata lain, koperasi tidak akan mati di
tengah-tengah masyarakat dan perekonomian yang modern, atau pengalaman tersebut
memberi kesan bahwa koperasi tidak bertentangan dengan ekonomi kapitalis.
Sebaliknya, koperasi-koperasi di negara maju selama ini tidak hanya mampu
bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar non-koperasi, tetapi mereka juga
menyumbang terhadap kemajuan ekonomi dari negara-negara kapitalis tersebut.
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa koperasi lahir pertama kali di Eropa
yang juga merupakan tempat lahirnya sistem ekonomi kapitalis.
Koperasi harus memiliki
keunggulan-keunggulan kompetitif dibandingkan organisasi-organisasi bisnis
lainnya untuk bisa menang dalam persaingan di dalam era globalisasi dan
perdagangan bebas saat ini. Keunggulan kompetitif disini didefinisikan sebagai
suatu kekuatan organisasional yang secara jelas menempatkan suatu perusahaan di
posisi terdepan dibandingkan pesaing-pesaingnya. Faktor-faktor keunggulan
kompetitif dari koperasi harus datang dari: (1) sumber-sumber tangibleseperti
kualitas atau keunikan dari produk yang dipasarkan (misalnya formula Coca-Cola
Coke) dan kekuatan modal; (ii) sumber-sumber bukan tangible seperti brand
name, reputasi, dan pola manajemen yang diterapkan (misalnya tim manajemen
dari IBM); dan (iii) kapabilitas atau kompetensi-kompetensi inti yakni
kemampuan yang kompleks untuk melakukan suatu rangkaian pekerjaan tertentu atau
kegiatan-kegiatan kompetitif (misalnya proses inovasi dari 3M). Menurutnya,
salah satu yang harus dilakukan koperasi untuk bisa memang dalam persaingan
adalah menciptakan efisiensi biaya. Tetapi ini juga bisa ditiru/dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan lain (non-koperasi). Jadi, ini bukan suatu keunggulan
kompetitif yang sebenarnya dari koperasi. Menurutnya satu-satunya keunggulan
kompetitif sebenarnya dari koperasi adalah hubungannya dengan anggota.
Selain itu, agar suatu
koperasi dapat beroperasi dengan sukses juga harus menerapkan beberapa hal di
bawah ini : (1) memakai komite-komite, penasehat-penasehat dan ahli-ahli dari
luas secara efektif; (2) selalu memberikan informasi yang lengkap dan up
to date kepada anggota-anggotanya sehingga mereka tetap terlibat dan
suportif; (3) melakukan rapat-rapat atau pertemuan-pertemuan bisnis dengan
memakai agenda yang teratur, prosedur-prosedur parlemen, dan pengambil
keputusan yang demokrasi; (4) mempertahankan relasi-relasi yang baik antara
manajemen dan dewan direktur/pengurus dengan tugas-tugas dan tanggung jawab-
tanggung jawab yang didefinisikan secara jelas; (5) mengikuti praktek-praktek
akutansi yang baik, dan mempersentasikan laporan-laporan keuangan secara
regular; (6) mengembangkan aliansi-aliansi dengan koperasi-koperasi lainnya;
dan (7) mengembangkan kebijakan-kebijakan yang jelas terhadap konfidensial dan
konflik kepentingan.
B. Kondisi Koperasi di Jepang (dengan
sistem Komunis)
Koperasi pertama di
Negeri Sakura dilahirkan pada 1897, tetapi baru pada 1920-an gerakan
koperasi-koperasi mulai mengorganisir dengan
skala yang lebih besar. Bersamaan dengan pelaksanaan Undang-Undang Industri dan
Kerajinan. Dalam perkembangannya, koperasi di Jepang berkembang tidak hanya di
bidang industri dan kerajinan, tetapi di sektor pertanian juga mengalami
perkembangan yang pesat di awal-awal pertumbuhannya. Ada dua macam koperasi
pertanian di Jepang. Pertama adalah yang bersifat khusus, hanya mengembangkan
satu macam komoditas. Dan kedua adalah bersifat umum, yaitu yang bersifat serba
usaha.
Setelah terbit Undang-Undang Koperasi Pertanian
pada tahun 1974, koperasi pertanian, koperasi konsumsi dan bank koperasi
semakin tumbuh dengan pesat dan menjadi andalan koperasi di Jepang. Di Jepang,
koperasi konsumen mampu tumbuh 20 persen per tahun. Sejak awal, mereka
menyediakan barang-barang yang sehat dan memuaskan konsumen. Motto bisnisnya:
Untuk Perdamaian dan Suatu Kehidupan yang Lebih Baik. Lalu pada 1921 Koperasi
Nada dan Koperasi Kobe didirikan di bawah kepemimpinan Toyohiko Kagawa, Bapak
Gerakan Koperasi Konsumen. Kedua badan usaha ini bergabung atau amalgamasi
menjadi Koperasi Nada Kobe koperasi di tahun 1962. Kemudian berubah nama lagi
menjadi Koperasi Kobe pada 1991. Seiring perkembangannya, kedua koperasi
menjadi kekuatan yang mengemudikan koperasi di Jepang.
Menurut Kagawa, tujuan
pergerakan koperasi di Jepang terutama demi memperbaiki kondisi kehidupan
masyarakat miskin. Caranya, ia menganjurkan tujuh berkoperasi. Pertama,
pembagian keuntungan yang saling menguntungkan. Kedua, perekonomian yang
manusiawi. Ketiga, pembagian modal. Keempat, pembatasan eksploitasi. Kelima,
desentralisasi kekuasaan. Keenam, kenetralan politik. Ketujuh, menekankan segi
pendidikan.
Penyebaran koperasi yang
ideal, menurut Kagawa adalah menolong orang merancang kebangkitan dirinya.
Sayangnya, pemerintahan militer semasa Perang Dunia II di Negeri Para Samurai
ini menentang koperasi. Akibatnya, koperasi bubar dan menghilang pada jaman
itu.
Setelah Perang Dunia II, sejumlah pergerakan koperasi yang dirusak selama
peperangan, memperbaiki diri. Banyak koperasi membuka kegiatan distribusi
makanan ransum atau jatah. Sebab, kala itu memang terjadi kelangkaan serius
hampir semua barang.
Kemudian pada 1948,
pemerintah menerbitkan Undang-Undang Koperasi Konsumen. Perkembangan
berikutnya, pada 1951 didirikan Gabungan Koperasi Konsumen Jepang (Japanese
Consumers’ Co-operative Union, JCCU), yang merupakan peletak dasar dan
pendorong kemajuan koperasi. Presiden JCCU Isao Takamura menjelaskan, seiring
kebangkitan ekonomi Jepang era 1950-an, sejumlah kebijakan mereorganisasi
koperasi pun sering didiskusikan. Tema yang mendominasi diskusi, antara lain
meliputi aspriasi atau kepentingan ekonomi para anggota. Juga sekitar manajemen
bisnis koperasi.
Muncul gagasan agar
koperasi mendasarkan pada kelompok kecil yang beranggota 5 sampai 10 orang.
Cara ini memungkinkan para anggota bertukar pikiran intensif. Baik melalui
aktifitas jual beli bersama, saling menolong dan mempromosikan koperasi mereka.
Di saat yang sama, pada
kurun 1960 dan 1970-an, Jepang menikmati pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Bahkan, cenderung tak terkendali. Buktinya, banyak problem yang menyerang
konsumen. Misalnya, bahan pengawet dipakai membuat makanan yang diproduksi secara
massal dan membahayakan kesehatan orang. Dengan cerdas, koperasi memanfaatkan
situasi ini. Koperasi berupaya menyuplai produk alternatif dengan jaminan
keselamatan dan makanan yang dapat diandalkan.
Kemudian datang krisis
minyak di tahun 1973. Dampaknya, kelangkaan komoditi dan harga barang tiba-tiba
meroket. Lagi-lagi di tengah kondisi sulit ini, koperasi memasok barang dengan
harga logis kepada anggota. Manfatnya, para anggota semakin mempercayai
koperasi. Pada gilirannya jumlah keanggotaan dan pertumbuhan koperasi menjamur
luar biasa. Sayangnya, kemudian muncul tindakan anti koperasi dari segolongan
kecil pedagang ritel (minor retailer). Kondisinya, di tahun 1980-an Jepang
tengah berada pada pertumbuhan yang menguntungkan. Sebetulnya, para pedagang ritel
itu sulit bersaing melawan peritel besar.
Koperasi pun terkena
getah. Para pedagang ritel sampai mengusulkan kepada pemerintah untuk mencegah
pembukaan toko-toko koperasi. Mereka juga menuntut pemerintah menjalankan
Undang-Undang Koperasi Konsumen yang melarang penggunaan koperasi oleh bukan
anggota. Pemerintah menanggapi dengan mengorganisasi satu panitia khusus dan
mendiskusikan aktifitas yang tepat untuk koperasi. Keputusannya, koperasi sudah
beroperasi sesuai kepentingan konsumen maupun Undang-undang Koperasi Konsumen.
Jadi penyebab kesulitan keuangan para pengecer kecil, bukan karena koperasi.
Koperasi mengatasi
kesulitan satu demi satu, dan sekarang mempunyai anggota sejulah 14 juta orang.
Jumlah koperasi retail local, kurang lebih 9 juta. Artinya, mewakili 20 % dari
seluruh tempat tinggal di Jepang. Sementara penjualan tahunan koperasi senilai
52,7 miliar Dolar AS. Mudah dipahami, perkembangan koperasi di Negeri Matahari
Terbit ini makin mengesankan. Lahir sejumlah koperasi, dari Koperasi Kesehatan,
Koperasi Asuransi hingga Koperasi Universitas.
Para pendiri semua koperasi ini
meyakini, mereka mewakili kepentingan ekonomi masyarakat, bertanggung jawab
kepada masyarakat dan berupaya melakukan usaha secafra benar. Selain itu,
misalnya di koperasi konsumen, kelembagaan koperasi membantu keberadaan dan
kesejahteraan bersama pengecer kecil. Tujuannya, merevitalisasi ekonomi lokal
dan memberikan kontribusi kepada komunitasnya.
Dari sisi keanggotaan,
apa motif utama orang Jepang berkoperasi? Biasanya mereka memang membutuhkan
barang-barang yang dibeli. Selain itu, mereka menginginkan aspek keselamatan
dan sangat mengutamakan kualitas barang-barang. Sisi menarik lain, 90 persen
anggota koperasi adalah wanita. Sebagian besar merupakan ibu rumah tangga. Mereka
membeli produk koperasi, karena ingin memiliki makanan yang sehat untuk anak
mereka. Itu sebabnya, koperasi di Jepang selalu berusaha menyediakan makanan
yang sehat atau tanpa bahan pengawet. Bahkan selalu meneliti dan mencari
Informasi mengenai barang, sebelum mereka menjualnya.
Apalagi produk pertanian
yang harus dijaga kesegarannya. Mereka mengirim langsung ke anggota, tanpa
melalui pasar. Praktik ini sangat dikenal di Jepang. Produsen dan konsumen
bertransaksi secara langsung mengenai makanan yang segar dan sehat. Produksi
pertanian yang segar didukung secara kuat oleh anggota koperasi. Ini bisa
terjadi, karena produsen dan konsumen bisa berkomunikaksi langsung dan
mengetahui persis bagaimana proses produksi makanan.
C. Kondisi Koperasi di Indonesia (dengan
sistem Pancasila)
Dalam sistem
perekonomian Indonesia dikenal ada tiga pilar utama yang menyangga
perekonomian. Ketiga pilar itu adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan
Usaha Milik Swasta (BUMS), dan Koperasi. Ketiga pilar ekonomi tersebut mempunyai
peranan yang masing-masing sangat spesifik sesuai dengan kapasitasnya. Dari
ketiga pilar itu, koperasi, walau sering disebut sebagai soko guru
perekonomian, secara umum merupakan pilar ekonomi yang “jalannya paling
terseok” dibandingkan dengan BUMN dan apalagi BUMS.
Padahal koperasi selama
ini sudah didukung oleh pemerintah sesuai kedudukannya yang istimewa yaitu
sebagai soko guru perekonomian. Ide dasar pembentukan koperasi sering dikaitkan
dengan pasal 33 UUD 1945, khususnya Ayat 1 yang menyebutkan bahwa “Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Dalam
Penjelasan UUD 1945 itu dikatakan bahwa bangun usaha yang paling cocok dengan
asas kekeluargaan itu adalah koperasi. Tafsiran itu sering disebut sebagai
perumus pasal tersebut. Kata azas kekeluargaan ini, walau bisa diperdebatkan,
sering dikaitkan dengan koperasi sebab azas pelaksanaan usaha koperasi adalah
juga kekeluargaan.
Berdasarkan data resmi
dari Departemen Koperasi dan UKM, sampai dengan bulan November 2001, jumlah
koperasi di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 103.000 unit lebih, dengan
jumlah keanggotaan ada sebanyak 26.000.000 orang. Jumlah itu jika dibanding
dengan jumlah koperasi per-Desember 1998 mengalami peningkatan sebanyak dua
kali lipat. Jumlah koperasi aktif, juga mengalami perkembangan yang cukup
menggembirakan. Jumlah koperasi aktif per-November 2001, sebanyak 96.180 unit
(88,14%). Hingga tahun 2004 tercatat 130.730, tetapi yang aktif mencapai
71,50%, sedangkan yang menjalan rapat tahunan anggota (RAT) hanya 35,42%
koperasi saja. Tahun 2006 tercatat ada 138.411 unit dengan anggota 27.042.342
orang akan tetapi yang aktif 94.708 unit dan yang tidak aktif sebesar 43.703
unit.
Bagaimana prospek
koperasi Indonesia ke depan? Untuk menjawabnya, dua hal yang harus dilihat
terlebih dahulu, yakni sejarah keberadaan koperasi dan fungsi yang dijalankan
oleh koperasi yang ada di Indonesia selama ini. Dalam hal pertama itu,
pertanyaannya adalah apakah lahirnya koperasi di Indonesia didorong oleh
motivasi seperti yang terjadi di negara maju (khususnya di Eropa), yakni
sebagai salah satu cara untuk menghadapi mekanisme pasar yang tidak bekerja
sempurna. Dalam hal kedua tersebut, pertanyaannya adalah apakah koperasi
berfungsi seperti halnya di negara maju atau lebih sebagai “instrumen”
pemerintah untuk tujuan-tujuan lain.
Gagasan tentang koperasi
telah dikenal di Indonesia sejak akhir abad 19, dengan dibentuknya organisasi
swadaya untuk menanggulangi kemiskinan di kalangan pegawai dan petani yang
kemudian dibantu pengembangannya hingga akhirnya menjadi program resmi
pemerintah. Jadi, dapat dikatakan bahwa pengembangan koperasi selanjutnya yang
meluas keseluruh pelosok tanah air lebih karena dorongan atau kebijakan
pengembangan koperasi dari pemerintah, bukan sepenuhnya inisiatif swasta
seperti di negara maju; walaupun di banyak daerah di Indonesia koperasi lahir
oleh inisiatif sekelompok masyarakat.
Gerakan koperasi sendiri
mendeklarasikan sebagai suatu gerakan sudah dimulai sejak tanggal 12 Juli 1947
melalui Kongres Koperasi di Tasikmalaya. Pengalaman di tanah air kita lebih
unik karena koperasi yang pernah lahir dan telah tumbuh secara alami di jaman
penjajahan, kemudian setelah kemerdekaan diperbaharui dan diberikan kedudukan
yang sangat tinggi dalam penjelasan undang-undang dasar. Dan atas dasar itulah
kemudian melahirkan berbagai penafsiran bagaimana harus mengembangkan koperasi.
Paling tidak dengan dasar yang kuat tersebut sejarah perkembangan koperasi di
Indonesia telah mencatat tiga pola pengembangan koperasi. Secara khusus
pemerintah memerankan fungsi sebagai pengatur dan pengembang sekaligus.
Bung Hatta sendiri mulai
tertarik kepada sistem koperasi agaknya adalah karena pengaruh kunjungannya ke
negara-negara Skandinavia, khususnya Denegara majuark, pada akhir tahun
1930-an. Walaupun ia sering mengaitkan koperasi dengan nilai dan lembaga
tradisional gotong-royong, namun persepsinya tentang koperasi adalah sebuah
organisasi ekonomi modern yang berkembang di Eropa Barat. Ia pernah juga
membedakan antara “koperasi sosial” yang berdasarkan asas gotong royong, dengan
“koperasi ekonomi” yang berdasarkan asas-asas ekonomi pasar yang rasional dan
kompetitif. Bagi Bung Hatta, koperasi bukanlah sebuah lembaga yang antipasar
atau nonpasar dalam masyarakat tradisional. Koperasi, baginya adalah sebuah
lembaga self-helplapisan masyarakat yang lemah atau rakyat kecil
untuk bisa mengendalikan pasar. Karena itu koperasi harus bisa bekerja dalam
sistem pasar, dengan cara menerapkan prinsip efisiensi.
Namun, sejak
diperkenalkan koperasi di Indonesia pada awal abad 20, dan dalam
perkembangannya hingga saat ini koperasi di Indonesia mempunyai makna ganda
yang sebenarnya bersifat ambivalent, yakni koperasi sebagai badan
usaha dan sekaligus juga sebagai jiwa dan semangat berusaha. Untuk pengertian
yang pertama, koperasi sering dilihat sebagai salah satu bentuk usaha yang bisa
bergerak seperti bentuk usaha lainnya yang dikenal di Indonesia seperti PT, CV,
Firma, NV. Menurutnya, dalam kerangka seperti inilah, koperasi sepertinya
diperkenankan untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Karena pengertian
inilah, pusat-pusat koperasi dan induk koperasi dibentuk dengan tujuan agar
dapat memperkuat eksistensi koperasi primer.
Contohnya adalah
dibentuknya PUSKUD (Pusat Koperasi Unit Desa) dan INKUD (Induk Koperasi Unit
Desa). Sedangkan dalam konteks makna kedua tersebut, usaha yang dilakukan
koperasi disusun berdasarkan atas azas kebersamaan. Karena kebersamaannya ini,
bentuk kepemilikan properti pada koperasi yang “konservatif” sering tidak
diwujudkan dalam bentuk kepemilikan saham melainkan dalam wujud simpanan baik
wajib maupun pokok dan sukarela, iuran, sumbangan dan bentuk lainnya.
Konsekuensi dari bentuk kepemilikan seperti itu adalah sebutan kepemilikannya
bukan sebagai pemegang saham melainkan sebagai anggota. Oleh karenanya,
koperasi sering dijadikan alat untuk mencapai tujuan yang ditetapkan para
anggotanya atau untuk kesejahteraan anggota.
Secara bisnis,
sebenarnya makna ganda koperasi ini cukup merepotkan. Karena koperasi diakui
sebagai badan usaha, maka kiprah usaha koperasi mestinya harus seperti badan
usaha lainnya. Dalam artian ini, sebagai sebuah badan usaha, koperasi mestinya
mengejar profit sebesar-besarnya dengan langkah-langkah dan perhitungan bisnis
seperti yang biasa dilakukan oleh perusahaan lainnya. Namun langkah bisnis ini
sering “bertabrakan” dengan keinginan anggotanya yakni menyejahterakan anggota.
Sehingga dalam konteks ini, penghitungan kelayakan usaha koperasi, jika hanya
mengandalkan aspek liquiditas, solvabilitas dan rentabilitas usaha, menjadi
tidak tepat.
Mungkin perbedaan yang
paling besar antara koperasi di negara-negara lain, khususnya negara maju,
dengan di Indonesia adalah bahwa keberadaan dan peran dari koperasi di
Indonesia tidak lepas dari ideologi Pancasila dan UUD 45, yakni merupakan
lembaga kehidupan rakyat Indonesia untuk menjamin hak hidupnya memperoleh
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sehingga mewujudkan suatu
masyarakat adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana dimaksud oleh
Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang sepenuhnya merupakan hak setiap warga negara
(Hariyono, 2003). Konsukwensinya, koperasi di Indonesia memiliki tanggung jawab
sosial jauh lebih besar daripada tanggung jawab “bisnis” yang menekankan pada
efisiensi, produktivitas, keuntungan dan daya saing, dan sangat dipengaruhi
oleh politik negara atau intervensi pemerintah dibandingkan koperasi di negara
maju.
Sementara itu, ciri
utama perkembangan koperasi di Indonesia adalah dengan pola penitipan kepada
program yaitu: (i) program pembangunan secara sektoral seperti koperasi
pertanian, koperasi desa, KUD; (ii) lembaga-lembaga pemerintah dalam koperasi
pegawai negeri dan koperasi fungsional lainnya; dan (iii) perusahaan baik milik
negara (BUMN) maupun swasta (BUMS) dalam koperasi karyawan. Sebagai akibatnya
prakarsa masyarakat luas kurang berkembang dan kalau ada tidak diberikan tempat
semestinya.
Menurutnya, intervensi
dari pemerintah yang terlalu besar sebagai salah satu penyebab utama lambatnya
perkembangan koperasi di Indonesia. Selama ini koperasi dikembangkan dengan
dukungan pemerintah dengan basis sektor-sektor primer dan distribusi yang memberikan
lapangan kerja terbesar bagi penduduk Indonesia. Sebagai contoh sebagian besar
KUD sebagai koperasi program di sektor pertanian didukung dengan program
pembangunan untuk membangun KUD. Disisi lain pemerintah memanfaatkan KUD untuk
mendukung program pembangunan pertanian untuk swasembada beras seperti yang
dilakukan selama pembangunan jangka panjang pertama pada era Orde Baru menjadi
ciri yang menonjol dalam politik pembangunan koperasi.
Sedangkan dilihat dari
strukturnya, organisasi koperasi di Indonesia mirip organisasi pemerintah/
lembaga kemasyarakatan yang terstruktur dari primer sampai tingkat nasional.
Hal ini telah menunjukkan kurang efektifnya peran organisasi sekunder dalam
membantu koperasi primer. Tidak jarang menjadi instrumen eksploitasi sumberdaya
dari daerah pengumpulan. Fenomena ini sekarang ini harus diubah karena adanya
perubahan orientasi bisnis yang berkembang sejalan dengan proses globalisasi
dan liberalisasi perdagangan dan ekonomi. Untuk mengubah arah ini hanya mampu
dilakukan bila penataan mulai diletakkan pada daerah otonom.
D. Faktor yang dapat Mempengaruhi Kemajuan
Koperasi di Indonesia
Pengembangan koperasi di
Indonesia selama ini barulah sebatas konsep yang indah, namun sangat sulit
untuk diimplementasikan. Semakin banyak koperasi yang tumbuh semakin banyak
pula yang tidak aktif. Bahkan ada koperasi yang memiliki badan hukum, namun
kehadirannya tidak membawa manfaat sama sekali. Koperasi tidak mungkin tumbuh
dan berkembang dengan berpegang pada tata kelola yang tradisonal dan tidak
berorientasi pada pemuasan keperluan dan keinginan konsumen. Koperasi perlu
diarahkan pada prinsip pengelolaan secara modern dan aplikatif terhadap
perkembangan zaman yang semakin maju dan tantangan yang semakin global.
Dari kemungkinan banyak
faktor penyebab kurang baiknya perkembangan koperasi di Indonesia selama ini,
salah satunya yang paling serius adalah masalah manajemen dan organisasi. Oleh
karena itu, ia menegaskan bahwa koperasi di Indonesia perlu mencontoh
implementasi good corporate governance (GCG) yang telah
diterapkan pada perusahaan-perusahaan yang berbadan hukum perseroan. Prinsip
GCG dalam beberapa hal dapat diimplementasikan pada koperasi. Untuk itu,
regulator, dalam hal ini Kementerian Koperasi dan UKM perlu memperkenalkan
secara maksimal suatu konsep GCG atau tata kelola koperasi yang baik.
Lebih rincinya konsep
GCG sektor koperasi perlu dimodifikasi sedemikian rupa untuk menjawab tantangan
pengelolaan koperasi yang semakin kompleks. Implementasi GCG perlu diarahkan
untuk membangun kultur dan kesadaran pihak-pihak dalam koperasi untuk
senantiasa menyadari misi dan tanggung jawab sosialnya, yaitu menyejahterakan
anggotanya. Dalam mengimplementasikan GCG, koperasi Indonesia perlu
memastikan beberapa langkah strategis yang memadai dalam implementasi GCG.
Pertama, koperasi perlu
memastikan bahwa tujuan pendirian koperasi benar-benar untuk menyejahterakan
anggotanya. Pembangunan kesadaran akan tujuan perlu dijabarkan dalam visi, misi
dan program kerja yang sesuai. Pembangunan kesadaran akan mencapai tujuan
merupakan modal penting bagi pengelolaan koperasi secara profesional, amanah,
dan akuntabel. Ketidakamanahan dari pengurus dan anggota akan membawa koperasi
pada jurang kehancuran. Inilah yang harus diperkecil dengan implementasi GCG.
Kedua, perbaikan secara
menyeluruh. Kementerian Koperasi dan UKM perlu menyiapkan blue
print pengelolaan koperasi secara efektif dan terencana. Blue
printkoperasi ini nantinya diharapkan akan menjadi panduan bagi seluruh
koperasi Indonesia dalam menjalankan kegiatan operasinya secara profesional,
efektif dan efisien. Ketiga, pembenahan kondisi internal koperasi.
Praktik-praktik operasional yang tidak efisien dan mengandung kelemahan perlu
dibenahi. Dominasi pengurus yang berlebihan dan tidak sesuai dengan proporsinya
perlu dibatasi dengan adanya peraturan yang menutup celah penyimpangan
koperasi.